Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor geger. Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung sebut saja namanya Supriono
(38 thn) tengah menggendong mayat anaknya, Khaerunisa (3 thn). Supriono
akan memakamkan si kecil di kampungnya di Bogor dengan menggunakan
jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta,
lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban
kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas
karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa
Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.
Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari
terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke
Puskesmas. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke
puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas,
meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol
plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari”. Ujar bapak 2
anak yang tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan
sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan
kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai
hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.
Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa
menghembuskan nafas terakhirnya. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam
gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau, tak ada
siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski
termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain
kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus
menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono
mengajak Musriki berjalan mendorong gerobak berisikan mayat itu dari
Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya
di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan
bantuan dari sesama pemulung.
Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun
Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai
membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu
dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap
Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono
menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang,
tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah
meninggal dan akan dibawa ke Bogor. Spontan penumpang KRL yang mendengar
penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke
kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke
RSCM dengan menumpang ambulans hitam.
Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat
permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang
terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti
kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali
memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan
surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa
ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa
dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga
yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.
Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal
Supriono dan Muriski di perjalanan.
***
Kita pasti akan merasa sedih mendengar cerita ini dan akan benar-benar terpukul dengan peristiwa
yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat
ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah
dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus
jenazah Khaerunisa. Ini merupakan
tamparan untuk bangsa Indonesia”. Peristiwa itu seharusnya tidak
terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang
tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi
kemiskinan, tapi tidak mengurusi orang-orang miskin.
Masih banyak orang-orang seperti mereka di sekitar kita, tapi
kadang-kadang kita tidak menyadari (atau pura-pura tidak sadar) terhadap
keadaan dan kondisi mereka. Kita kadang-kadang merasa beruntung kita
dilahirkan dikeluarga yang berkecukupan dalam hal ekonomi, tapi jangan
sampai hal tersebut membuat kita lupa sama orang-orang seperti keluarga
pak Supriono.